Berbagi Artikel Terbaik

Blog Personal Artikel Dan Pengetahuan

Liberte (Ala Suku Minang)


Basilang kayu dalam tungku,
disinan api mangko iduik,
disinan nasi mangko masak                  
(Pepatah Minang)

Saat ini Perancis adalah negara terkemuka di Eropa, bahkan dunia. Sejarahnya panjang, juga rumit. Namun yang pasti, setelah di abad XII Raja Perancis, Philip II  dan Louis VII  membuat negaranya terseok-seok akibat terlibat  Perang salib yang panjang dan mematikan, memasuki abad pertengahan Perancis tetap  sengkarut. Rakyatnya harus hidup di bawah sistem feodal yang monarkinya tamak. Penguasa istananya masih berkelindan dengan pemuka gereja, dan dengan moralitas yang memburuk. Selepas berseteru dengan muslim di kancah perang Salib,  Katolik Perancis yang mayoritas memburu Protestan, agama yang baru lahir. Praktik inquisisi bersimaharajarela dengan korban mencapai ribuan. Tak ada keadilan, kesejahteraan, keamanan apalagi toleransi dan kebebasan berpendapat.  

Dalam kondisi seperti itulah Voltaire menyerukan pemusnahan gereja dengan berteriak garang “Ecrasez l’infame! Luluh lantakkanlah yang buruk !!”  Dan dengan sentimen anti agama (gereja) yang melatarbelakanginya bangsa Perancis mengawali pencerahannya.  Yang  kemudian kita kenal sebagai Revolusi Perancis. Di saat yang sama gerakan renaisans semakin kencang, para cendikiawannya berlomba memperjuangkan kebebasan manusia dari kungkungan gereja. Setelah itu menyemburlah tiga kata sakti yang menjadi acuan bahkan hingga saat ini : liberte, egalite, dan  fraternite, Kebebasan, Persamaan, dan Persaudaraan. (Simon Petrus L. Tjahjadi, Petualangan intelektual.2004).

Perancis memang mampu merubah nasib bangsanya, namun hal itu dilakukan secara liberal dan radikal. Mereka paham betul bagaimana mengejewantahkan kalimat  Voltaire yang terkenal :     “I  do not agree with what you have to say, but I'll defend to the death your right to say it.”        (Saya tidak setuju dengan apa yang harus Anda katakan, tapi saya akan membela sampai mati hak Anda untuk mengatakannya). Dengan cepat, kebebasan berekspresi produk Revolusi Perancis ini menyemburat ke segenap penjuru jagad, termasuk ke Amerika Serikat.

Saat Bangsa Amerika merayakan ulang tahun kemerdekaan  yang ke-100, Perancis memberi hadiah istimewa berupa patung Liberty. Melalui simbol patung hasil karya  Frederic Auguste Bartholdi, dan Gustave Eiffel yang diresmikan pada 28 Oktober 1886  ini, meneguhkan bahwa kebebasan seakan telah menjadi agama baru di muka bumi, menggantikan kejumudan agama yang telah mengungkung mereka sebelumnya, dengan Perancis dan Amerika sebagai pionirnya.

Kebebasan (liberte, liberal)  yang dulu terkekang kemudian berkembang menjadi suatu gerakan dalam bidang politik, ekonomi, kebudayaan dan lain-lain. Di bidang politik, kekuasaan raja mulai dibatasi, tak bisa lagi berbuat sekehendak hati. Negara harus berdasarkan atas hukum yang dituangkan ke dalam konstitusi. Kekuasaan penguasa menjadi  tidak tak  terbatas karena rakyat sudah memiliki wakil-wakil yang duduk dalam parlemen. Munculah negara demokrasi.

Pun demikian di bidang ekonomi, sistem ekonomi bebas, menjadi pilihan.  Setiap individu dibebaskan untuk memiliki dan menjalankan usahanya. Dengan bersemboyankan “Laissez Faire, Laissez Passer”, (sebuah farasa berbahasa Perancis yang artinya “biarkan terjadi”). Sebuah doktrin ekonomi yang  menyerahkan segala kegiatan ekonomi ke pasar bebas, dengan campur tangan pemerintah yang sangat minim. Sehingga para pengusaha pemilik kapital besar makin kuat dan kaya, melibas pengusaha kecil. Munculah kapitalisme yang kemudian digugat oleh sosialisme.

Dalam bidang agama, rakyat dibebaskan untuk memilih agama apapun yang disuka, bahkan  bebas untuk tidak beragama.  Dengan semangat kebebasan ini rakyat beribadah menurut tata cara agamanya masing-masing sepanjang tidak dicampur dengan urusan pemerintahan. Munculah sekularisme yang memisahkan agama dengan kekuasaan negara.

Bisa dipahami bila, dengan  semangat liberte yang menjamin seluas-luasnya kebebasan untuk berekspresi ini, majalah satire Perancis, Charlie Hebdo bisa hidup dengan menjual lelucon kasar.  Ia menertawakan semua semua hal, mulai dari tokoh politik hingga agama, seperti  Sarkozy, Paus, Yesus dan Nabi Muhammad.  Prinipnya, tabloid tersebut ingin mengempeskan kefanatikan dengan tidak membiarkan ideologi apa pun memiliki tempat  istimewa yang tidak bisa dikritik. Sesuatu yang sejalan dengan semangat Revolusi Perancis.

Pada awalnya kebebasan ala Revolusi Perancis ini dianggap suatu pencerahan, menggantikan masa kegelapan di era sebelumnya. Namun Perancis saat ini berbeda jauh dengan Perancis di masa Voltaire dulu. Para filsuf yang menjadi konseptornya  tidak mengalami hidup di sebuah masa di mana lalu lintas informasi, ide, pemikiran berikut dengan beragam manusia dan peradabannya yang berpindah dengan cepat sehingga memungkinkan terjadinya geger budaya akibat adanya interaksi, friksi sekaligus anomali.

Disebut anomali karena kebebasan beragama yang dijamin konstitusi tersebut ternyata tidak membebaskan rakyatnya untuk menjalankan  ibadah sesuai dengan keyakinannya. Hal tersebut terlihat dari disahkannya Undang-Undang Laicite yang melarang penggunaan hijab bagi muslimah, turban penutup kepala bagi kaum Sikh, kippa bagi kaum Yahudi, dan salib bagi umat Krsitiani di ruang publik.

Perancis mengawali pencerahaannya dengan sentimen anti agama yang diserukan oleh para cendikiawannya sendiri,  pada kenyatannya tidak semua peradaban memiliki sejarah pertikaian seperti itu. Di tempat dan waktu yang berbeda, ada suatu peradaban yang justru terbangun lantaran terjadinya sinergi antara pengetahuan dan keyakinan agama, adanya keseimbangan antara keduanya sehingga tidak ada alasan untuk saling  mempertentangkan satu sama lainnya untuk mencapai pencerahan. Sejarah peradaban seperti inilah yang dipahami oleh sebagian imigran yang mendatangi Perancis saat ini.

Dengan perbedaan latar belakang seperti itulah muncul tafsir agama yang radikal  sebagai anti tesis dari paham kebebasan yang tengah menggurita di seantero dunia. Dua kekuatan yang saling meniadakan. “Sebuah pisau roti bisa digunakan untuk memotong ranting, namun untuk menebang pohon diperlukan  kampak” kata Martin Luther, Bapak pembaharu Kristen.  Walaupun sebenarnya kita lebih memilih “bersama-sama  makan roti sambil berteduh di bawah rindangnya pohon”. Sehingga tak dibutuhkan pisau apalagi kampak.

Namun, apapun, kita pantas mengecam aksi penembakan di kantor redaksi tabloid satir Prancis Charlie Hebdo yang menewaskan 12 orang pada hari Rabu, 7 Januari 2015. Disusul kemudian dengan penembakan seorang polisi wanita pada Kamis keesokannya dan penyanderaan di supermarket  milik Yahudi pada Jumat yang menewaskan empat orang sandera, sehingga total mencapai 17 korban meninggal, termasuk 3 orang pelakunya.
Yang menarik, dalam insiden tersebut terungkap fakta bahwa  baik pelaku penembakan (Cherif, Said Kouachi dan Amedy Coulibaly), korban tewas (Ahmed Merabet)  dan salah seorang pahlawannya (Lassana Bathily) memiliki identitas agama yang sama. Artinya kejadian tersebut adalah tragedi kemanusiaan yang dilakukan oleh orang yang berpikiran sempit, tidak siap dengan perbedaan dan harus dijadikan musuh bersama. Apapun latar belakang agama kita…..

Sementara itu di daerah Minang, yang jauh dari keramaian Perancis sana, masyarakatnya mengenal falsafah “Basilang kayu dalam tungku, disinan api mangko iduik, disinan nasi mangko masak,,,,, bersilang kayu dalam tungku, begitu api baru hidup, di sana nasi masak”. Itulah Indonesia, yang masyarakatnya jauh lebih beragam dibandingkan Perancis,  baik suku, bahasa maupun agama. Namun perbedaannya itu justru menjadi kekuatan. Sebab, walaupu mayoritas  penduduknya muslim, namun teologi keislamannya Asy’ari, fiqhnya Syafi’i,  tasawufnya Ghozali, berpadu dengan sinkritism pribumi, perpaduan yang sulit untuk berkembangannya ideologi kekerasan yang diusung Salafi, Wahabi, Neo Khawarij, maupun Jihadis (Azyumardi Azra, Kompas 13 Januari 2015).

Mungkin bila masyarakat Perancis baik yang pribumi maupun imigrannya belajar pada bangsa Indonesia,  tragedi Charlie Hebdo  tak akan terjadi……
Bagikan :
+
Previous
Next Post »

Artikel Terkait:

0 Komentar untuk "Liberte (Ala Suku Minang)"

 
Template By Kunci Dunia
Back To Top