Iseng ga ada kerjaan jadi hari ini saya share deh kisah novel yang penulisan nya dulu pernah melegenda di era tahun 80'an, disini saya tidak ada bermaksud apa-apa hanya sekedar murni share karya beliau......
Selamat Membaca
PART II
Ada meja kecil. Di atas meja kecil itu ada jam beker Kuno.
Warnanya sudah banyak yang mengelupas. Logamnya berkarat, tapi jarumnya masih
berjalan normal. Andai dijual hanya laku lima
ratus rupiah, itu sudah untung.
Susah dikatakannya. Tentu saja hati Awang bersorak. Menurutnya,
gadis itu bisa
Awang juga
tidak punya pikiran apakah kakeknya itu orang sakti atau orang biasa-biasa
saja. Sebab, sejak ia hidup bersama Kakek
Somo , ia juga belum
pernah melihat kesaktian kakeknya itu. Yang
ia tahu, Kakek Somo adalah seorang pensiunan masinis kereta api, yang tiap
bulan dapat jatah uang pensiun. Uang itu pun tidak digunakan untuk membeli
rumah, atau membeli kebutuhan hidupnya, melainkan diserahkan kepada mamanya
Awang.
Hanya saja
yang pernah diingat oleh Awang, sepanjang hidup Kakek Somo tidak pernah sakit.
Batuk, itu sekali dua kali saja. Pilek atau flu, itu kalau kehujanan. Dan
biasanya tak pernah sampai tiga hari sudah sembuh. Sakit kencing manis, tidak
pernah. Darah tinggi, ginjal, lever, dan yang lainnya, tidak pernah. Malahan
pada waktu beliau berusia seratus tahun, beliau masih bisa membaca tanpa
menggunakan kacamata.
Awang juga
ingat, kesukaan Kakek Somo adalah jalan-jalan di sore hari dengan menggunakan
kacamata hitam. Sering Awang meledeknya jika Kakek Somo memakai kacamata hitam
sambil jalan-jalan.
"Tuh
lihat... Kakek sedang ngeceng...!"
Kadang
jalan pagi, jalan malam, kacamata hitam itu sering dipakainya. Agaknya
merupakan suatu kebanggaan tersendiri buat, Kakek Somo jika ia mengenakan
kacamata hitam. Ia sering tertawa atau tersenyum sendiri, dan tidak menghiraukan
ejekan cucu-cucunya.
"Kakek
mengenang masa mudanya," kata papanya Awang ketika itu.
"Sebab,
menurut kakek kalian yang asli, Kek Somo waktu masih mudanya gemar nampang pakai kacamata hitam. Biasanya kalau sudah
pakai kacamata hitam beliau jalan-jalan
di depan asrama KNIL, atau di depan rumah noni-noni Belanda."
Satu hal lagi yang diingat
oleh Awang tentang kebiasaan Kakek Somo adalah sering bersiul-siul sendirian,
walaupun usianya sudah seratus tahun lebih. Awang menganggap, bersiul adalah
salah satu hobi Kakek Somo yang tak bisa ditinggalkan.
Pernah Awang mendengar
percakapan antara Mira, adiknya nomor dua, dengan Kakek Somo di suatu hari, ketika
Kakek Somo masih hidup. Waktu itu Mira bertanya,
"Kakek punya ilmu nggak
sih?"
Kakek Somo menjawab
seenaknya,
"Ya tentu saja punya. Kalau nggak punya ilmu, bagaimana aku bisa menghitung
uang pensiunku?"
"Maksudku, ilmu
mistik!"
Kakek Somo tertawa terkekeh.
"Kenapa kamu tanya-tanya
begitu?"
"Kalau punya, aku
ajarin dong. Aku kepingin punya ilmu deh!"
Lalu, waktu itu Awang
menimpali,
"Hei, ngapain cewek kepingin
punya ilmu mistik? Mau melet cowok, ya? Huhhh..... !"
"Suka-suka gue
dong!" kata Mira kepada kakaknya.
Kemudian Kakek Sumo ketawa
lagi. Kakek Somo bilang,
"Belajar yang rajin, tekun,
maka kamu akan jadi orang pintar. Itulah ilmu yang menjadi bekal hidupmu nanti...!"
Siapa yang tahu latar
belakang kehidupan Kakek Somo semasa mudanya, adalah kakek kandung Awang
sendiri, yang sering dipanggi Kakek Dipa. Sayang sekali Kakek Dipa lebih dulu
meninggal dunia, sehingga sekarang Awang tidak bisa memperoleh cerita lengkap
tentang masa lalunya Kakek Somo. Tetapi
Awang ingat kata-kata Badri,
"Pasti di kamar itu ada pusaka peninggalan Kakek Somo. Coba cari
deh!"
Itulah sebabnya malam itu
Awang secara diam-diam masuk ke kamar Kakek Somo. Ia merinding saat baru saja
masuk dan menutup pintu. Jelas pintu harus ditutup lagi, supaya tidak ada
adik-adiknya yang melihat bahwa ia ada di bekas kamar Kakek Somo.
Barang-barang peninggalan
Kakek Somo tidak banyak, duga tidak punya harga jika dijual di tukang loak.
Paling-paling yang berharga hanyalah pakaian-pakaian bekas, itu pun berpotongan
kuno. Satu-satunya kemeja yang masih baru adalah kemeja lengan panjang warna
krem. Itu kemeja pemberian dari pamannya Awang, setahun yang lalu.
Di bekas kamar Kakek Somo
ada dua koper. Keduanya termasuk jenis koper butut. Ada juga sebuah tas kulit, isinya hanya
alat-alat pancing. Awang jadi ingat, bahwa Kakek Somo dulu punya kegemaran
memancing sambil pakai kacamata hitam. Tapi sejak sekitar usia sembilan puluh
tahun, hobi mancingnya itu sudah lebur. Paling- paling ia membaca koran atau
majalah di serambi samping.
Awang mencoba membuka koper
warna biru lusuh, yang pinggirannya sudah jebol sedikit. Koper itu berisi pakaian
dan buku-buku kuno, semacam catatan harian. Tulisannya sudah kabur dan tak bisa
dibaca lagi. Sebagian pakaiannya ada yang sudah dimakan ngengat. Di koper itu
juga ada almanak tahun seribu sembilan ratus empat puluh enam. Entah apa
maksudnya almanak itu disimpannya. Awang tidak bisa memahami, sebab tidak ada
tulisan atau catatan apa-apa.
Koper kedua dibuka. Koper
itu warnanya merah tua, lusuh, dan robek bagian belakangnya. Isi koper itu adalah
pakaian seragam semasa beliau menjadi masinis kereta api, sebuah kotak
kayu yang berisi kacamata hitam dan korek api berkarat. Mungkin sebuah kenang-kenangan
dari seorang sahabat.
Kolong ranjang diperiksa, tidak
ada apa-apa. Almari dibuka, tidak ada benda apa pun kecuali pakaian dan kaos
sehari-hari. O, ada pipa tembakau, tapi sudah patah. Tidak berharga. Dari semua
barang yang ditemukan di kamar itu, hanya kacamata hitam yang sedikit menarik
bagi Awang.
Bingkai kacamata terbuat
dari campuran plastik dengan atom. Keras dan mudah patah. Kacanya yang hitam
kelam, benar-benar terbuat dari beling hitam. Bukan plastik atau mika.
Bentuknya memang cukup kuno. Tapijustru model seperti itulah yang sekarang ini sedang
digemari anak-anak muda.
Lumayanlah... bisa buat nampang
di kampus atau di tempat lain, pikir Awang. Ia segera mengantongi kacamata
tersebut.
Pelan-pelan ia membuka
pintu, lalu keluar meninggalkan kamar tersebut, tanpa menguncinya. Ia berjalan
berjingkat-jingkat, karena ia sempat melihat Gita dan Mira ada di ruang makan.
Ia tak ingin diketahui oleh adik-adiknya bahwa ia baru saja keluar dari bekas
kamar Kakek Somo. Baru pukul delapan kurang. Malam tidak sekelam dan sesunyi
malam kemarin. Agaknya malam sudah kembali normal, seperti malam-malam
biasanya. Tidak ada kecemasan dan ketegangan di antara keluarga Awang, bahkan
di antara tetangga pun tampaknya tenang-tenang saja.
Di kamarnya, Awang
mengeluarkan kacamata hitam dari saku celananya. Kacamata itu diamat-amati
dengan teliti. Entah mengapa ia begitu tertarik dengan kacamata tersebut.
Apakah hanya karena modelnya yang lagi trendy untuk masa sekarang, atau memang
ia belum pernah mempunyai kacamata kuno warna hitam seperti itu?
Ia bergegas berdiri di depan
cermin yang dipasang menempel dinding. Ia mengenakan kacamata itu. Oh, cukup
ganteng. Rambutnya yang ikal disisir ala kadarnya pakai jemari tangan. Ia mematut-matut
diri di depan cermin itu.
Ahai... alangkah tampannya
aku jika memakai kacamata ini! Pikir Awang sambil tersenyum- senyum. Ia bergegas keluar dari kamar.
Mau pamer sama adik-adiknya. Tapi waktu ia membalikkan badan,
"Hahhh...?!"
Awang terkejut. Badannya
sempat bergerak mundur sedikit. Ia melihat seorang gadis berdiri di pintu, punggungnya
sedikit bersandar pada tepian pintu.Menatap ke arah Awang dengan
senyum indah berlesung pipit yang amat memikat hati.
"Hai...," Awang
mencoba menenangkan diri, menutupi rasa malu karena kagetnya, menutupi rasa
herannya, dan menutupi debar-debar di dalam hatinya. Awang berusaha untuk tidak
merasa kikuk, seakan sudah terbiasa menghadapi gadis secantik itu.
Senyum gadis itu mekar kian
memikat hati. Itulah jawaban dari sapaan Awang. Lalu. Awang bertanya,
"Sejak kapan kamu masuk
kamarku?"
"Sejak tadi,"
jawab gadis itu.
"Disuruh Mira, ya?
Pasti Mira yang menyuruhmu menggoda aku!"
"Mira...?! O, Mira
adikmu maksudmu?"
"Ya," jawab Awang
pendek.
Gadis itu tertawa pelan
sambil melangkah, duduk di kursi yang biasa dipakai Awang untuk belajar.
Duduknya santai, membuat Awang tambah terheran-heran kagum kepadanya.
Tentu saja Awang
terheran-heran kagum, sebab gadis itu memang cantik. Rambutnya panjang sebatas pinggang,
disisir ke samping, sebagian rambut dibiarkan meriap di dada kiri. Bagus sekali
rambut itu. Hitam bening.
Belum lagi wajahnya. Wow...
Brooke Shields aja putus sama kecantikannya. Hidungnya mancung, serasi dengan bentuk
wajahnya yang sedikit oval. Matanya bening, tidak terlalu lebar, tapi juga
tidak terlalu sipit. Bulu matanya lentik, sesuai dengan bentuk alisnya yang
tebal rapi, di kedua ujung alis kanan kiri ada rambut yang raemercik-mercik
tipis. Bola matanya selain bening juga hitam mengagumkan. Kulitnya kuning
langsat. Dan bibirnya? Duhai...!
Bibir itu bak delima
merekah. Merah segar. Bak buah yang belum terlalu tua. Tampak selalu basah.
Tidak tipis sekali tapi juga tidak tebal. Bibir yang bawah sedikit lebih tebal
dari bibir yang atas Kata orang, itulah bentuk bibir yang sensual.
Gadis itu mengenakan gaun
terusan. Semacam longdrees tapi bercorak kuno. Lengannya panjang, tapi tidak
menutup pergelangan tangan. Lengan gaun itu
lebar, komprang-komprang.
Kain yang digunakan sebagai bahan gaun itu berwar
na pink, dari jenis kain sutera
halus, lembut, tanpa manik-manik kecuali renda
putih kecil di bagian
dadanya.
"Namamu siapa? Boleh
kenalan dong...!" goda Awang masih tetap nampang dengan kacamata hitamnya.
"Anjar...."
"Ah, masa' namanya
Anjar? Shelvina, kali?"
Gadis itu tertawa kecil.
Aduh, manis sekali. Sungguh manis. Hanya orang bodoh dan orang gila yang bilang
tawa itu tidak manis. Awang saja jadi gregetan dan
memancing godaan itu.
"Atau... namamu pasti
Sonia!"
"Anjar," jawabnya
sambil tersenyum dan tertawa tipis.
"Nggak pantas namamu
Anjar. Pantasnya Nency, atau Veronica!"
"Sungguh," matanya
menatap tak berkedip. Sungguh indah. Luar biasa indahnya.
"Aku tidak bohong.
Namaku Anjar Kusuma!"
"Anjar Kusuma...? Kok
kayak nama orang kuno sih?"
"Lengkapnya, Dewi Anjar
Kusuma. Tapi... kau cukup memanggilku Anjar saja...."
Suaranya.... Wow, merdu dan
sangat enak didengar. Empuk-empuk gimanalah...!
diajak bercanda. Punya
selera humor. Ia tetap mengaku tidak mengenal Mira.
"Memang aku tahu, Mira
itu adikmu. Tapi aku berani bertaruh nyawa, bahwa dia tidak akan kenal aku" katanya.
"Hmmm... kalau gitu
kamu pasti temannya Handi!"
"Handi? Adikmu yang
ketigaitu? Oh, bukan. Handi juga tidak akan mengenal aku."
"Lantas, kamu tahu aku
di sini dari siapa? Yang mengizinkan kamu masuk ke kamar ini siapa?"
"Jadi, kamu marah aku
masuk ke kamar ini?"
"Bukan soal marah sih.
Tapi...."
"Kamu tidak suka aku
berada di sini?"
"Bukan soal nggak suka juga
sih. Cuma... ya... gimana, ya...?" Awang garuk-garuk kepala. Bingung ia
menjawab.
Bingung harus berkata
apa.... Ia berpikir, mencari kata yang enak untuk menjawab. Sangat disayangkan
sebelum ia bisa menjawab, terdengar suara bel tamu berbunyi. Tak berapa lama suara
Handi, adiknya terdengar memanggil nama Awang.
"Wawang...! Ada teman elu
nih...." Awang sebenarnya mau berlagak cuek. Pura- pura tidak mendengar.
Tapi Handi berteriak sambil ketuk-ketuk pintu, sedikit kasar. Awang terpaksa
menyahut dengan seruan,
"Iya, ya...! Sebentar...!"
sambil merasa khawatir kalau Handi membuka pintu.
Awang segera berkata kepada
Anjar,
"Tunggu sebentar, oke? Jangan ke mana-mana, nanti aku kembali lagi.
Jangan keluar dulu, ya?"
"Ya" jawab Anjar
sambil mengangguk dalam senyum yang memikat.
Awang buru-buru membuka
pintu kamarnya. Eit, ia lupa masih pakai kacamata Kakek. Buru-buru dilepaskan kacamata
itu dan dikantongi. Ia melangkah setengah berlari ke arah ruang tamu. Gerakan
dan wajahnya tampak bahwa ia dalam suasana ceria.
"Hai, kamu
Dri...!" sapanya kepada Badri.
"Farok tadi ke sini,
ya?"
"Nggak tuh. Eh...
kebetulan kamu datang. Yuk, kukenalkan sama teman baruku. Elu pasti teler deh ngeliatin
wajahnya...!"
Tangan Badri ditariknya. Badri
bingung. Ia ikut masuk ke kamarnya Awang. Namun, begitu sampai di kamar Awang
yang menjadi kebingungan.
"Lho...? Ke mana dia...?!"
Gadis itu hilang. Dicari ke mana-mana tidak ada. Awang kecewa, la berseru memanggil,
"Anjar...? Anjaaar...?!"
"Siapa Anjar itu, Wang?" tanya Badri, dan Awang hanya bisa bengong.
"Pengen tau siapa anjar sebenarnya?? next cerita akan bersambung kembali"
0 Komentar untuk "Novel Tara Zagita - Ratu Peri Dari Selat Sunda Part II"