Berbagi Artikel Terbaik

Blog Personal Artikel Dan Pengetahuan

Novel Tara Zagita - Ratu Peri Dari Selat Sunda Part II


Seri Dewi Ular - Tara Zagita
Ratu Peri Dari Selat Sunda
Karya : Tara Zagita


Iseng ga ada kerjaan jadi hari ini saya share deh kisah novel yang penulisan nya dulu pernah melegenda di era tahun 80'an, disini saya tidak ada bermaksud apa-apa hanya sekedar murni share karya beliau......

Selamat Membaca
PART II

Awang juga tidak punya pikiran apakah kakeknya itu orang sakti atau orang biasa-biasa saja. Sebab, sejak ia hidup bersama Kakek Somo, ia juga belum pernah melihat kesaktian kakeknya itu. Yang ia tahu, Kakek Somo adalah seorang pensiunan masinis kereta api, yang tiap bulan dapat jatah uang pensiun. Uang itu pun tidak digunakan untuk membeli rumah, atau membeli kebutuhan hidupnya, melainkan diserahkan kepada mamanya Awang.

Hanya saja yang pernah diingat oleh Awang, sepanjang hidup Kakek Somo tidak pernah sakit. Batuk, itu sekali dua kali saja. Pilek atau flu, itu kalau kehujanan. Dan biasanya tak pernah sampai tiga hari sudah sembuh. Sakit kencing manis, tidak pernah. Darah tinggi, ginjal, lever, dan yang lainnya, tidak pernah. Malahan pada waktu beliau berusia seratus tahun, beliau masih bisa membaca tanpa menggunakan kacamata.

Awang juga ingat, kesukaan Kakek Somo adalah jalan-jalan di sore hari dengan menggunakan kacamata hitam. Sering Awang meledeknya jika Kakek Somo memakai kacamata hitam sambil jalan-jalan.

"Tuh lihat... Kakek sedang ngeceng...!"

Kadang jalan pagi, jalan malam, kacamata hitam itu sering dipakainya. Agaknya merupakan suatu kebanggaan tersendiri buat, Kakek Somo jika ia mengenakan kacamata hitam. Ia sering tertawa atau tersenyum sendiri, dan tidak menghiraukan ejekan cucu-cucunya. 

"Kakek mengenang masa mudanya," kata papanya Awang ketika itu.
"Sebab, menurut kakek kalian yang asli, Kek Somo waktu masih mudanya gemar nampang  pakai kacamata hitam. Biasanya kalau sudah pakai  kacamata hitam beliau jalan-jalan di depan asrama KNIL, atau di depan rumah noni-noni Belanda." 

Satu hal lagi yang diingat oleh Awang tentang kebiasaan Kakek Somo adalah sering bersiul-siul sendirian, walaupun usianya sudah seratus tahun lebih. Awang menganggap, bersiul adalah salah satu hobi Kakek Somo yang tak bisa ditinggalkan.

Pernah Awang mendengar percakapan antara Mira, adiknya nomor dua, dengan Kakek Somo di suatu hari, ketika Kakek Somo masih hidup. Waktu itu Mira bertanya,

"Kakek punya ilmu nggak sih?"

Kakek Somo menjawab seenaknya, 

"Ya tentu saja punya. Kalau nggak punya ilmu, bagaimana aku bisa menghitung uang pensiunku?"

"Maksudku, ilmu mistik!"

Kakek Somo tertawa terkekeh.

"Kenapa kamu tanya-tanya begitu?"

"Kalau punya, aku ajarin dong. Aku kepingin punya ilmu deh!"

Lalu, waktu itu Awang menimpali,

"Hei, ngapain cewek kepingin punya ilmu mistik? Mau melet cowok, ya? Huhhh..... !"

"Suka-suka gue dong!" kata Mira kepada kakaknya.

Kemudian Kakek Sumo ketawa lagi. Kakek Somo bilang,

"Belajar yang rajin, tekun, maka kamu akan jadi orang pintar. Itulah ilmu yang menjadi bekal hidupmu nanti...!" 

Siapa yang tahu latar belakang kehidupan Kakek Somo semasa mudanya, adalah kakek kandung Awang sendiri, yang sering dipanggi Kakek Dipa. Sayang sekali Kakek Dipa lebih dulu meninggal dunia, sehingga sekarang Awang tidak bisa memperoleh cerita lengkap tentang masa lalunya Kakek Somo. Tetapi

Awang ingat kata-kata Badri, "Pasti di kamar itu ada pusaka peninggalan Kakek Somo. Coba cari deh!"

Itulah sebabnya malam itu Awang secara diam-diam masuk ke kamar Kakek Somo. Ia merinding saat baru saja masuk dan menutup pintu. Jelas pintu harus ditutup lagi, supaya tidak ada adik-adiknya yang melihat bahwa ia ada di bekas kamar Kakek Somo.

Barang-barang peninggalan Kakek Somo tidak banyak, duga tidak punya harga jika dijual di tukang loak. Paling-paling yang berharga hanyalah pakaian-pakaian bekas, itu pun berpotongan kuno. Satu-satunya kemeja yang masih baru adalah kemeja lengan panjang warna krem. Itu kemeja pemberian dari pamannya Awang, setahun yang lalu.

Di bekas kamar Kakek Somo ada dua koper. Keduanya termasuk jenis koper butut. Ada juga sebuah tas kulit, isinya hanya alat-alat pancing. Awang jadi ingat, bahwa Kakek Somo dulu punya kegemaran memancing sambil pakai kacamata hitam. Tapi sejak sekitar usia sembilan puluh tahun, hobi mancingnya itu sudah lebur. Paling- paling ia membaca koran atau majalah di serambi samping. 

Ada meja kecil. Di atas meja kecil itu ada jam beker Kuno. Warnanya sudah banyak yang mengelupas. Logamnya berkarat, tapi jarumnya masih berjalan normal. Andai dijual hanya laku lima ratus rupiah, itu sudah untung.

Awang mencoba membuka koper warna biru lusuh, yang pinggirannya sudah jebol sedikit. Koper itu berisi pakaian dan buku-buku kuno, semacam catatan harian. Tulisannya sudah kabur dan tak bisa dibaca lagi. Sebagian pakaiannya ada yang sudah dimakan ngengat. Di koper itu juga ada almanak tahun seribu sembilan ratus empat puluh enam. Entah apa maksudnya almanak itu disimpannya. Awang tidak bisa memahami, sebab tidak ada tulisan atau catatan apa-apa.

Koper kedua dibuka. Koper itu warnanya merah tua, lusuh, dan robek bagian belakangnya. Isi koper itu adalah pakaian seragam semasa beliau menjadi masinis kereta api, sebuah kotak kayu yang berisi kacamata hitam dan korek api berkarat. Mungkin sebuah kenang-kenangan dari seorang sahabat.

Kolong ranjang diperiksa, tidak ada apa-apa. Almari dibuka, tidak ada benda apa pun kecuali pakaian dan kaos sehari-hari. O, ada pipa tembakau, tapi sudah patah. Tidak berharga. Dari semua barang yang ditemukan di kamar itu, hanya kacamata hitam yang sedikit menarik bagi Awang.

Bingkai kacamata terbuat dari campuran plastik dengan atom. Keras dan mudah patah. Kacanya yang hitam kelam, benar-benar terbuat dari beling hitam. Bukan plastik atau mika. Bentuknya memang cukup kuno. Tapijustru model seperti itulah yang sekarang ini sedang digemari anak-anak muda. 

Lumayanlah... bisa buat nampang di kampus atau di tempat lain, pikir Awang. Ia segera mengantongi kacamata tersebut.

Pelan-pelan ia membuka pintu, lalu keluar meninggalkan kamar tersebut, tanpa menguncinya. Ia berjalan berjingkat-jingkat, karena ia sempat melihat Gita dan Mira ada di ruang makan. Ia tak ingin diketahui oleh adik-adiknya bahwa ia baru saja keluar dari bekas kamar Kakek Somo. Baru pukul delapan kurang. Malam tidak sekelam dan sesunyi malam kemarin. Agaknya malam sudah kembali normal, seperti malam-malam biasanya. Tidak ada kecemasan dan ketegangan di antara keluarga Awang, bahkan di antara tetangga pun tampaknya tenang-tenang saja.

Di kamarnya, Awang mengeluarkan kacamata hitam dari saku celananya. Kacamata itu diamat-amati dengan teliti. Entah mengapa ia begitu tertarik dengan kacamata tersebut. Apakah hanya karena modelnya yang lagi trendy untuk masa sekarang, atau memang ia belum pernah mempunyai kacamata kuno warna hitam seperti itu?

Ia bergegas berdiri di depan cermin yang dipasang menempel dinding. Ia mengenakan kacamata itu. Oh, cukup ganteng. Rambutnya yang ikal disisir ala kadarnya pakai jemari tangan. Ia mematut-matut diri di depan cermin itu. 

Ahai... alangkah tampannya aku jika memakai kacamata ini! Pikir Awang sambil tersenyum- senyum. Ia bergegas keluar dari kamar. Mau pamer sama adik-adiknya. Tapi waktu ia membalikkan badan, "Hahhh...?!"

Awang terkejut. Badannya sempat bergerak mundur sedikit. Ia melihat seorang gadis berdiri di pintu, punggungnya sedikit bersandar pada tepian pintu.Menatap ke arah Awang dengan senyum indah berlesung pipit yang amat memikat hati.

"Hai...," Awang mencoba menenangkan diri, menutupi rasa malu karena kagetnya, menutupi rasa herannya, dan menutupi debar-debar di dalam hatinya. Awang berusaha untuk tidak merasa kikuk, seakan sudah terbiasa menghadapi gadis secantik itu.

Senyum gadis itu mekar kian memikat hati. Itulah jawaban dari sapaan Awang. Lalu. Awang bertanya,

"Sejak kapan kamu masuk kamarku?"

"Sejak tadi," jawab gadis itu.

"Disuruh Mira, ya? Pasti Mira yang menyuruhmu menggoda aku!"

"Mira...?! O, Mira adikmu maksudmu?"

"Ya," jawab Awang pendek.

Gadis itu tertawa pelan sambil melangkah, duduk di kursi yang biasa dipakai Awang untuk belajar. Duduknya santai, membuat Awang tambah terheran-heran kagum kepadanya.
Tentu saja Awang terheran-heran kagum, sebab gadis itu memang cantik. Rambutnya panjang sebatas pinggang, disisir ke samping, sebagian rambut dibiarkan meriap di dada kiri. Bagus sekali rambut itu. Hitam bening.

Belum lagi wajahnya. Wow... Brooke Shields aja putus sama kecantikannya. Hidungnya mancung, serasi dengan bentuk wajahnya yang sedikit oval. Matanya bening, tidak terlalu lebar, tapi juga tidak terlalu sipit. Bulu matanya lentik, sesuai dengan bentuk alisnya yang tebal rapi, di kedua ujung alis kanan kiri ada rambut yang raemercik-mercik tipis. Bola matanya selain bening juga hitam mengagumkan. Kulitnya kuning langsat. Dan bibirnya? Duhai...!

Bibir itu bak delima merekah. Merah segar. Bak buah yang belum terlalu tua. Tampak selalu basah. Tidak tipis sekali tapi juga tidak tebal. Bibir yang bawah sedikit lebih tebal dari bibir yang atas Kata orang, itulah bentuk bibir yang sensual.

Gadis itu mengenakan gaun terusan. Semacam longdrees tapi bercorak kuno. Lengannya panjang, tapi tidak menutup pergelangan tangan. Lengan gaun itu
lebar, komprang-komprang. Kain yang digunakan sebagai bahan gaun itu berwar
na pink, dari jenis kain sutera halus, lembut, tanpa manik-manik kecuali renda
putih kecil di bagian dadanya.

"Namamu siapa? Boleh kenalan dong...!" goda Awang masih tetap nampang dengan kacamata hitamnya.

"Anjar...."

"Ah, masa' namanya Anjar? Shelvina, kali?"

Gadis itu tertawa kecil. Aduh, manis sekali. Sungguh manis. Hanya orang bodoh dan orang gila yang bilang tawa itu tidak manis. Awang saja jadi gregetan dan
memancing godaan itu.

"Atau... namamu pasti Sonia!"

"Anjar," jawabnya sambil tersenyum dan tertawa tipis.

"Nggak pantas namamu Anjar. Pantasnya Nency, atau Veronica!"

"Sungguh," matanya menatap tak berkedip. Sungguh indah. Luar biasa indahnya.

"Aku tidak bohong. Namaku Anjar Kusuma!"

"Anjar Kusuma...? Kok kayak nama orang kuno sih?"

"Lengkapnya, Dewi Anjar Kusuma. Tapi... kau cukup memanggilku Anjar saja...."

Suaranya.... Wow, merdu dan sangat enak didengar. Empuk-empuk gimanalah...!
Susah dikatakannya. Tentu saja hati Awang bersorak. Menurutnya, gadis itu bisa
diajak bercanda. Punya selera humor. Ia tetap mengaku tidak mengenal Mira.

"Memang aku tahu, Mira itu adikmu. Tapi aku berani bertaruh nyawa, bahwa dia tidak akan kenal aku" katanya.

"Hmmm... kalau gitu kamu pasti temannya Handi!"

"Handi? Adikmu yang ketigaitu? Oh, bukan. Handi juga tidak akan mengenal aku."

"Lantas, kamu tahu aku di sini dari siapa? Yang mengizinkan kamu masuk ke kamar ini siapa?"

"Jadi, kamu marah aku masuk ke kamar ini?"

"Bukan soal marah sih. Tapi...."

"Kamu tidak suka aku berada di sini?"

"Bukan soal nggak suka juga sih. Cuma... ya... gimana, ya...?" Awang garuk-garuk kepala. Bingung ia menjawab. 

Bingung harus berkata apa.... Ia berpikir, mencari kata yang enak untuk menjawab. Sangat disayangkan sebelum ia bisa menjawab, terdengar suara bel tamu berbunyi. Tak berapa lama suara Handi, adiknya terdengar memanggil nama Awang.

"Wawang...! Ada teman elu nih...." Awang sebenarnya mau berlagak cuek. Pura- pura tidak mendengar. Tapi Handi berteriak sambil ketuk-ketuk pintu, sedikit kasar. Awang terpaksa menyahut dengan seruan,

"Iya, ya...! Sebentar...!" sambil merasa khawatir kalau Handi membuka pintu.

Awang segera berkata kepada Anjar, 

"Tunggu sebentar, oke? Jangan ke mana-mana, nanti aku kembali lagi. Jangan keluar dulu, ya?"

"Ya" jawab Anjar sambil mengangguk dalam senyum yang memikat.

Awang buru-buru membuka pintu kamarnya. Eit, ia lupa masih pakai kacamata Kakek. Buru-buru dilepaskan kacamata itu dan dikantongi. Ia melangkah setengah berlari ke arah ruang tamu. Gerakan dan wajahnya tampak bahwa ia dalam suasana ceria.

"Hai, kamu Dri...!" sapanya kepada Badri.

"Farok tadi ke sini, ya?"

"Nggak tuh. Eh... kebetulan kamu datang. Yuk, kukenalkan sama teman baruku. Elu pasti teler deh ngeliatin wajahnya...!"

Tangan Badri ditariknya. Badri bingung. Ia ikut masuk ke kamarnya Awang. Namun, begitu sampai di kamar Awang yang menjadi kebingungan. 

"Lho...? Ke mana dia...?!"

Gadis itu hilang. Dicari ke mana-mana tidak ada. Awang kecewa, la berseru memanggil, 

"Anjar...? Anjaaar...?!" 

"Siapa Anjar itu, Wang?" tanya Badri, dan Awang hanya bisa bengong. 


"Pengen tau siapa anjar sebenarnya?? next cerita akan bersambung kembali"
Bagikan :
+
Previous
Next Post »

Artikel Terkait:

0 Komentar untuk "Novel Tara Zagita - Ratu Peri Dari Selat Sunda Part II"

 
Template By Kunci Dunia
Back To Top