Khalifah
Islam Nusantara dan Penakluk
Kaum Imperialis
Ternate
yang saat ini menjadi daerah `panas' akibat pertikaian bernuansa SARA, menyimpan
goresan emas kejayaan Islam. Sejarah mencatat keberadaan beberapa kerajaan
Islam di bawah pimpinan raja yang bijak disana .
Tak mengherankan bila petualang kesohor Ibnu Batutah menyebut kawasan itu
sebagai Jazirat Al-Mulk (Semenanjung Raja-Raja). Salah satu fase kejayaan itu
berada di bawah kendali Sultan Baabullah (SB), sosok Muslim Ternate yang mampu
berperan sebagai penguasa bijak. Di bawah kendali pemerintahannya, Ternate
mampu tampil sebagai kerajaan yang adil,
bisa
mengayomi segenap lapisan masyarakat, termasuk kalangan non-Muslim.
Tentu saja,
gerakan misionaris Kristen yang memporak-porandakan hakikat toleransi dengan
tegas akan dilibas. Ini dibuktikan SB ketika memimpin perlawanan melawan kolonialis
Portugis, yang tak hanya berniat menjajah secara ekonomi tetapi juga aqidah. Penguasa
Ternate yang dijuluki `Khalifah Islam Nusantara' ini akhirnya mampu mengenyahkan
Portugis, dengan model perlawanan yang cantik dan Islami.
Baabullah
sang Penakluk• Lahir di Ternate, 10 Februari 1528 M, Baabullah merupakan generasi
ke-5 Sultan Zainal Abidin (1485-1500). Generasi pertamanya adalah Sultan Bayanullah
(1500-1522), kedua Sultan Maharani Noekila
(1522-1532), ketiga Sultan Tabarija (1532-1536), dan keempat Sultan Chairun
Janil (1536-1570).
Di masa
muda, Baabullah telah digembleng masalah kemiliteran oleh Salahaka Sula dan Salahaka
Ambon. Keduanya merupakan Panglima Kerajaan Ternate. Berkat bimbingan kedua
tokoh ini, dalam usia relatif muda Baabullah telah diangkat menjadi Kaicil Paparangan
(panglima tertinggi angkatan perang).
Dalam
bidang pengetahuan agama Islam, para mubalig istana juga tak jemu-jemunya membimbing
Baabullah. Anak muda gagah perkasa ini memang dipersiapkan untuk memegang
tampuk kerajaan Ternate . Jadilah ia, selain
menguasai ketatanegaraan dan kemiliteran, juga terdidik secara mental sebagai
calon sultan pengganti Chairun. Satu lagi, kelak ia diharapkan mampu
melaksanakan tugas suci memimpin perang fi sabilillah
melawan
kecongkakan Eropa.
Saat
diangkat menjadi Sultan Ternate yang ke-25, usia Baabullah sudah cukup matang, sekitar
42 tahun. Segenap penghuni kerajaan tak ragu sebab ia telah terlatih secara nyata
di berbagai medan
pertempuran masa pergolakan melawan Portugis. Terbukti memang. Perlawanan
melawan Portugis semakin garang di masa pemerintahannya. Dalam benaknya selalu
teringat saat-saat duka dodora (duka mendalam) ketika ia harus membopong
jenazah Sultan Chairun, ayahandanya, yang raganya hancur, diambil jantungnya
oleh serdadu Portugis untuk dipersembahkan kepada Rajamuda Portugis di Goa India (1570).
Namun spirit yang membuatnya pantang menyerah adalah Ri Jou si to nonakogudu moju se to suba(Hanya
kepada Allah tercurah harapan, meskipun
ghaib tetap akan disembah karena Dia ada).
Portugis
sendiri tiba di Ternate sekitar tahun 1511, dipimpin Admiral Fransesco Serrano.
Mereka diterima Sultan Bayanullah (Raja Ternate waktu itu) dengan baik. Tetapi barangkali
karena tabiat Portugis yang tidak mengenakkan, kedatangan orang-orang Eropa itu
akhirnya menyulut peperangan. Penerus takhta Bayanullah, Sultan Maharani Noekila,
dengan tegas menyatakan perang melawan Portugis. Sultan Tabarijja juga mengobarkan
api perlawanan, hingga ditawan di Goa dan
akhirnya meninggal di Malaka. Ayah SB, Sultan Chairun Janil, meneruskan perlawanan,
sebelum akhirnya meninggal secara tragis. Sang ayah inilah yang terus
mengobarkan semangat dan kesadaran sebagai bangsa merdeka di dada putranya, SB.
Salah satu nasihatnya yang terekam dalam pita sejarah adalah:
“Antara
Islam dan Katolik terdapat jurang pemisah yang lebar. Sejarah kemenangan Islam
di Andalusia (Spanyol), Khalifah Barat, membuat mereka membenci dan iri kebesaran
Kesultanan Ternate. Mereka menderita penyakit dendam kesumat serta pemusnahan
di mana saja setiap melihat negeri-negeri Islam, baik di Goa ,
Malaka, Jawa, dan kita di Maluku sini. Kalau kita di Ternate kalah maka nasib
kita akan sama dengan negeri-negeri Islam di Jawa, Sulawesi, dan Sumatra .”
Sebuah
nasihat yang begitu mengesankan bagi SB. Apalagi Portugis selama ini juga dikenal
licik sehingga Ternate beberapa kali dikibuli. Misalnya ketika putra mahkota Dayle
terbunuh (1532), penyerahan kedaulatan kepada Portugis di bawah King Alfonso II
(1536), pelanggaran sumpah agama yang disepakati Sultan Chairun dan Musquita,
serta puncaknya berupa tewasnya Chairun secara sadis.
Jadilah kerajaan Ternate
di bawah SB sebagai rival terberat yang membuat kolonialis Portugis pusing
tujuh keliling. Armada Ternate yang terkenal perkasa, ditambah kapal-kapal dari
Jawa (Jepara), Melayu, Makasar, Buton, membuat armada Portugis yang lengkap
persenjataannya seakan tak berarti apa-apa. Akhirnya benteng Fort Tolocce (dibangun
tahun 1572), Santo Lucia Fortress (1518), dan Santo Pedro (1522), jatuh ke tangan
laskar kora-kora Ternate .
Siasat
penyerangan dilakukan secara matang selama berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun.
Pasukan canga-canga yang beranggotakan suku Tobelo dilengkapi panah api beracun.
Laskar Kolano Baabullah bersenjatakan meriam hasil rampasan dari benteng Portugis
di Castel Sin Hourra Del Rosario yang merupakan pusat kekejaman Portugis di Asia Tenggara. Di kastel inilah para misionaris dididik
untuk menyebarkan agama Katolik di wilayah Maluku dan sekitarnya.
Sayang,
agama Katolik kurang bisa diterima penduduk Ternate karena terlalu dipaksakan. Perang
terus berkecamuk, baik di darat maupun di laut. Armada kora-kora Ternate mampu membuat kalang kabut korvet (kapal perang
kecil) dan fregat (kapal perang ukuran sedang) Portugis. Impian bangsa Portugis
sebagai satu-satunya pemasok komoditas rempah-rempah sekaligus membentuk
imperium jajahan sebagai bagian dari gerakan glory, gospel, gold (kemuliaan,
penyebaran agama, dan kekayaan) turut terkubur oleh keperkasaan laskar Ternate . Gubernur Alvaro De Atteyda segera menawarkan
perdamaian dengan, namun ditolak mentah-mentah. Akibatnya, perang berjalan
penuh selama lima
tahun (1570-1575).
Selama itu
pula spirit jihad laskar Ternate senantiasa mampu dikobarkan SB. Kemenangan
nyata telah mulai terlihat, sedang Portugis semakin tidak berdaya. Kekalahan
bertubi-tubi, terserang penyakit, kekurangan makanan, dan bantuan yang tak pernah
tiba, membuat pihak Portugis semakin lemas dan lemah. SB memimpin perang
menurut pola asli kesultanan di mana Tomagola bertanggung jawab atas kawasan
Ambon-Seram. Toraitu bertanggung jawab atas kep Sula, Bacan, Luwuk, Banggai,
dan Buton. Jougugu Dorure dan Sultan Jailolo termasuk koordinator penghancuran
di Halmahera dan Sulawesi .
Tanggal 24
Desember 1575 dengan berat hati Gubernur Nuno Pareira de Lacerda menaikkan
bendera putih tanda menyerah total pada SB, sekaligus menyerahkan kota dan benteng Santo
Paulo atau kota
Sen HourraDel Rosario yang dikenal kejam itu. Berduyun-duyun orang Portugis
penghuni kota tersebut keluar, seirama dengan
nyanyian Misa Kudus di malam Natal
yang penuh haru dengan linangan air mata perpisahan.
Menyaksikan
hal itu, tentara Ternate bersikap ksatria. Orang-orang Portugis diizinkan membawa
harta bendanya kecuali senjata dan alat perang. Musuh-musuh Islam terus dicekam
ketakutan akan dibunuh laskar jihad Kesultanan Ternate, ternyata diperlakukan seperti
layaknya saudara. Begitu senjatanya dilucuti, mereka dintar ke kapal untuk meninggalkan
perairan Maluku. Mereka dibawa bergabung dengan Spanyol ke Manila dan sebagian ke Timor Timur.
Khalifah
Imperium Islam di Nusantara SB memang amat menjunjung tinggi nilai ajaran Islam.
Banyak pembesar kraton yaang akhirnya merasa kecewa dengan tindakan SB. Sebab
musuh Islam yang membunuh ayah SB malah diperlakukan dengan baik. Ketika banyak
yang mempertanyakan hal itu, SB memberi titah, “Wahai joumbala (rakyat), ketahuilah
bahwa ajaran Islam tidak memperbolehkan seorang Muslim mengambil keuntungan
karena kelemahan musuhnya dalam perang di medan
laga.”
Kesaksian
ucapan SB itu membuat para tawanan Portugis yang beragama Katolik semakin
terharu atas sikap toleransi beragama yang dipraktikkan SB. Ini mencerminkan sikap
seorang pemimpin yang ksatria. Seperti halnya Khalifah
Shalahuddin Al-Ayyubi pada masa Perang Salib (1187-1193), SB membebaskan
tawanan yang tidak sanggup membayar tebusan, juga tawanan yang mendapat ratapan
istrinya.
Kekuatan
bangsa Portugis telah dilumpuhkan tanpa kecuali. Pekik kemenangan diserukan
pasukan Muslim Ternate, bergema di mana-mana, menyeru keagungan asma Allah:
Allahu Akbar...Allahu Akbar!
Dan syair
inilah yang selalu dikumandangkan laskar jihad Ternate dalam rangka mengajak
persatuan untuk mengusir penjajah Portugis:
Moro-moro se maku gise
No kakoro siwange ma buluke
Si wange ma sosiru
Jo Mapolo sara sekore mie
Ini formoni Bismillah!
(Jika
panggilan jihad telah diumumkan wajiblah diteruskan pada rakyat, Di matahari
naik dan rakyat di matahari masuk, Bersatulah dengan rakyat di angin selatan,
Dan rakyat di angin utara, bangkitlah berperang. Dengan niat Bismillah!)
Khalifah
Imperium Islam Nusantara
Kemenangan
SB dalam memimpin perang `menjebol' Portugis dari Nusantara banyak dianggap
sebagai tonggak kemenangan Islam di Nusantara. Kesultanan Ternate mengalami
masa gemilang, bebas dari pengaruh Portugis dan Spanyol. Aktivitas dakwah pun
begitu gencar dilaksanakan ke seluruh penjuru negeri. Kepulauan Nusa Tenggara menjadi
lahan dakwah paling ramai tenaga-tenaga da'i utusan SB.
Dengan
kharisma sebagai pemimpin, SB telah menunjukkan keperkasaannya sebagai koordinator
andal dari pelbagai suku yang berbeda akar genealogis. Karena itulah ia diakui dan
dikukuhkan sebagai “khalifah Imperium Islam” oleh Majelis Sidang Raja-Raja yang
bersekutu dengan Ternate di Makassar, pusat kerajaan Gowa.
Sebagai
Khalifah Islam Nusantara penguasa 72 negeri, SB menempatkan 6 sangaji di Nusa
Tenggara, yaitu: Sangaji Solor, Sangaji Lawayong (NTT), Sangaji Lamahara, Sangaji
Kore (NTB dan Bali), Sangaji Mena, dan Sangaji Dili (Timtim). Di pulau Jawa ada
4: Sangaji Lor, Sangaji Kidul, Sangaji Wetan, dan Sangaji Kulon. Di Sumatera
ada Sangaji Palembang. Sementara di Irian ada 5, yaitu: Sangaji Raja Ampat
(Kolano Fat), Sangaji Papua Gamsio (Sorong), Sangaji Mafor (Biak ),
Sangaji Soaraha (Jayapura), danSangaji
Mariekku (Merauke). Di Sulawesi ditempatkan di kerajaan Goa Makassar, Bone, Buton
Raha, Gorontalo, Sangir, Minahasa, Luwu, Banggai, dan Selayar. Di Kalimantan ada
kerajaan Sabah , Brunai, Serawak, dan Kutai.
Begitu pula di Filipina, terdapat di kerajaan Mangindano, Zulu-Zamboango.
Sementara di kepulauan Maluku sendiri ada Sangaji Seram, Ambon ,
Sula, Maba, Pattani, Gebe, dan lain-lain. Bahkan sampai di Mikronesia dekat
pulau Marshall
kepulauan Mariana, ada Sangaji Gamrangi. Begitu pula di
Polinesia dan Melanesia . Begitu luaswilayah
kekuasaannya, sehingga banyak yang menyebut bahwa Ternate masa SB bisa
dijadikan model negara Islam di Nusantara.
Kerajaan
Islam besar itu terus bertahan sampai anak keturunan SB. Anaknya, Sayeed Barakadli
(Sayiyudin), pengganti SB, mampu mempertahankan eksistensi Ternate
sebagai bangsa yang besar. Cucunya, Sultan Zainal Abidin, mewakili kemaharajaan
Ternate dalam pembentukan Aliansi Aceh-Demak-Ternate (Triple Alliance).
Khalifah
Imperium Islam Nusantara SB, mangkat pada tanggal 18 Ramadhan 991 H atau 25 Mei
1583 dalam usia 53 tahun. Duka dodora (kesedihan
mendalam) melanda bumi Ternate , barangkali
sama halnya dengan situasi saat ini tatkala kawasan itu terus berkecamuk.
0 Komentar untuk "Sultan Ternate Baabullah"