Berbagi Artikel Terbaik

Blog Personal Artikel Dan Pengetahuan

Novel Tara Zagita - Ratu Peri Dari Selat Sunda Part I


Seri Dewi Ular - Tara Zagita
Ratu Peri Dari Selat Sunda
Karya : Tara Zagita


Iseng ga ada kerjaan jadi hari ini saya share deh kisah novel yang penulisan nya dulu pernah melegenda di era tahun 80'an, disini saya tidak ada bermaksud apa-apa hanya sekedar murni share karya beliau......

Selamat Membaca
PART I

Awang mempunyai seorang kakek yang aneh. Setiap kakek itu mati, dan mayatnya terkena tetesan air hujan, ia dapat hidup kembali. Sampai akhirnya Kakek Somo berhasil dikubur dengan sempurna walau mereka harus berpacu dengan hujan.

Apa sebenarnya yang membuat Kakek Somo sam-pai mati empat kali? Kata Badri, di dalam kamar peninggalan bekas Kakek Somo itu pasti ada benda pusaka. Satu-satunya barang peninggalan Kakek Somo adalah kacamata hitam model kuno. Awang mengalami keanehan pada saat ia mengenakan kacamata tersebut. Sosok wanita cantik muncul memikat hati dan membuat Awang jadi rindu setengah mati. Tapi sekarang kacamata itu dicuri seseorang, dan rhenjadi bahan rebutan, sehingga menimbulkan banyak Apa kehebatan kacamata hitam itu sebenarnya?

Awang merahasiakannya, namun toh para pencuri kacamata itu mengetahuinya, sehingga timbul pula korban-korban cinta, tumbal-tumbal kemesraan. Dan yang terakhir, Awang sendiri yang akan menjadi tumbal berikutnya. Lalu, bagaimana cara menghindarinya jika Awang hanya punya tempo seperempat hari?

Jenazah diturunkan ke liang kubur. Awan hitam semakin tebal menggantung. Hujan belum turun. Para pelayat berwajah cemas. Ada apa? Seolah-olah mereka tergesa-gesa. Mereka yang bertugas menurunkan jenazah tampak gelisah. Sebentar-sebentar memandang ke atas. Sepertinya mereka takut kehujanan. Atau barangkali mereka berpacu dengan hujan? "Wah, gawat nih...!" Gumam lirih dari mulut Awang terdengar. Nadanya cemas. Matanya melirik ke langit. Hal itu membuat Badri heran. Badri teman kampus Awang. Badri berdiri di sebelah Awang. Ia melihat sekejap, lalu berbisik dengan mata kembali memperhatikan para petugas pemakaman mayat.

"Kenapa sih kok kayaknya orang-orang tegang menghadapi pemakaman ini?"
Belum sempat Awang menjawab, ada seseorang yang nyeletuk agak keras,
"Cepat sedikit, Bang. Nanti kita terlambat lagi!"
Yang nyeletuk itu dikenal sebagai pamannya Awang. Badri semakin heran. Wajah-wajah duka tak tampak jelas di keluarga Awang. Awang sendiri sepertinya hampir lupa dengan kedukaannya."Udah, buruan ditimbun tanah!" celetuk seorang lelaki yang dikenal sebagai saudara sepupu Awang.
Entah apa yang terjadi, tampaknya para petugas penguburan menjadi resah dan sedikit gaduh. Ada kesibukan yang tampaknya terjadi di luar dugaan. Ricuh di sekitar liang kubur. Beberapa orang yang hadir di situ juga ikut ricuh, ikut melongok ke liang kubur.

"Ada apa tuh...?" bisik Badri kepada Awang. Mereka tetap berada di bawah pohon kamboja besar, agak jauh dari liang kubur. Keadaan itu membuat Badri penasaran dan ingin mendekat, tapi tangan Awang mencekal lengannya.
"Di sini aja!"
"Gue pingin lihat kericuhan apa yang terjadi di sana itu!"
"Biasa!"
"Biasa gimana sih?"
Ada sesuatu yang ingin dijelaskan Awang, tapi agaknya pemuda berambut ikal itu ragu-ragu. Badri menunggu penjelasan tersebut sambil menatap Awang. Lama-lama Awang risih ditatap terus, karenanya ia pun berkata, "Lihat saja sana deh...!"

Badri memang penasaran. Perintah itu seperti sebuah dorongan yang membuat lebih penasaran. Maka, Badri pun mendekati liang kubur. Ia melongok di sela kepala orang-orang. Oh, rupanya liang yang dipakai mengubur kakeknya Awang itu mengeluarkan mata air. Becek. Bahkan sekarang sudah menggenang. Badri heran. Hujan belum datang tapi air sudah menggenang di dalam liang kubur. Kok bisa begitu?
"Air dari mana sih itu?" tanya seeorang yang tidak dikenal oleh Badri, lalu orang lain menjawab, 
"Dari dalam tanah!"
Seorang perempuan separuh baya mengeluh, 
"Ah,lagi-lagi begini!"

"Jangan-jangan batal lagi nih?" ujar seorang ibu berkerudung kain hitam, tetangganya Awang. Mendengar percakapan itu, Badri segera menemui Awang yang sejak tadi tidak mau mendekati liang kubur. Sebelumnya Badri sempat melihat liang kubur itu semakin banyak digenangi air. Mayat terpaksa dinaikkan kembali. Seseorang berseru memerintahkan agar air tersebut dikeringkan dulu. Dikuras. Kemudian, petugas penggali kubur yang berbadan kurus dan bermuka cekung itu mengambil ember kecil. Ember plastik. Lalu, ia mengeluarkan air yang menggenang di tempat di mana jenazah akan disemayamkan.

"Wang," bisik Badri.
"Kuburan kakek elu digenangi air!"
Awang hanya menggumam. Mulai tampak sedikit dongkol. Pasti dongkol dengan keadaan sore itu. Sebentar-sebentar ia memandang ke langit. Mendung makin tebal. Hitam. Gelap suasananya. Kilatan cahaya petir sesekali berkerlip, bagai menoreh langit. Sementara angin bertiup cukup kencang. Namun tidak menjadi badai.
Selendang dan kerudung hitam para pelayat perempuan tertiup angin. Malahan tadi ada yang terbang dari kepalanya. Rambut-rambut panjang pun meriap-riap dipermainkan angin. Seorang bapak yang tadi mengenakan topi, sekarang sudah tidak lagi, sebab topinya ikut terbang dan jatuh di tempat becek.

"Suasana ini cukup aneh bagiku," ujar Badri pelan.
"Apakah kamu pernah mengalami suasana penguburan kayak gini?"
"Sudah empat kali!" jawab Awang datar.
"Empat kali? Maksudmu...?!" Badri berkerut dahi.
"Sudah empat kali kakekku mati dan pada saat dikuburkan suasananya jadi begini."
"Ah, masa'? Apakah dulu juga liang kuburnya digenangi air?"
Awang mengangguk.
"O, pantas wajah-wajah kalian pada cemas. Takut kalau jenazah kakekmu bangkit lagi, ya?"
Awang mengangguk dan berkata, "Jangan sampai hujan turun aja!"
"Kalau hujan turun bagaimana?"
"Dia bangkit lagi!"
"Ah...!" Badri mulai merinding.
"Apa biasanya begitu?"

Napas ditarik panjang-panjang. Agaknya Awang tidak bisa menyembunyikan sesuatu yang jadi rahasia keluarganya. Ia pun berkata kepada Badri dengan suara pelan, "Kek Somo pernah berpesan kepada keluargaku, kalau dia mati, usahakan jenazahnya jangan sampai kena air hujan. Mulanya kami tidak terlalu menghiraukan kata-kata itu. Pertama ia meninggal, pada dua tahun yang lalu. Jenazahnya kehujanan sewaktu dibawa ke pemakaman. Dan mayat itu bangun lagi. Ia hidup kembali sampai tiga bulan kemudian ia kembali meninggal. Pada waktu mau dimasukkan ke liang kubur, hujan turun dan ia hidup kembali. Begitu seterusnya sampai empat kali."

"Gila...!" gumam Badri pelan, seperti gumam. Ia makin merinding mendengar cerita itu.
Awang melanjutkan kata-katanya, "Saat ini adalah kematiannya yang kelima. Kalau sekarang ia terkena air hujan, maka ia akan hidup kembali. Padahal usianya sudah hampir seratus lima puluh tahun kurang sedikit."
"Ck, ck, ck...!" Badri berdecak sambil geleng- geleng kepala.
"Biasanya liang kuburnya akan mengucurkan air dari dalam tanah, air akan menggenang. Orang-orang terpaksa menguras air tersebut, supaya mayat Kakek tidak kebasahan. Tapi biasanya, pada saat mereka sibuk menguras air, hujan turun rintik-rintik... dan mau tidak mau jenazah Kakek kehujanan. Kalau sudah begitu, maka ia akan bangkit lagi. Tak jadi mati. Entah untuk berapa bulan ia hidup."
"Kakekmu orang sakti, ya?"
Awang diam. Tak bisa menjawab, la hanya menghela napas lagi.

Seseorang berseru di dekat liang kubur, "Udah, udah...! Cukup deh! Sekarang mayatnya dimasukkan...!"
Badri buru-buru mendekati liang, melongok ke bawah. Oh, masih ada sisa air. Rupanya para pengubur bersepakat untuk nekat menguburkan mayat Kakek Somo dalam keadaan tanah tidak sekering biasanya. Gelegar suara guruh bersahutan. Angin makin kencang. Mereka benar-benar cemas. Takut hujan turun. Tak heran jika mereka bergerak cepat. Mayat diletakkan pada posisi semestinya, kemudian papan-papan penutup ditata rapi di bagian atas mayat.

"Wah, sudah gerimis nih...!" seseorang berseru sambil melihat butiran air yang jatuh di lengan kirinya. Para pengubur semakin bergerak cepat. Papan selesai ditutupkan secara rapat dan teratur. Lalu, mereka buru-buru pula menimbun liang kubur itu dengan tanah di sekelilingnya. Bahkan beberapa orang, termasuk pamannya Awang, ikut membantu menimbunkan tanah supaya cepat. Memang, dalam waktu singkat akhirnya kuburan tersebut rapat ditimbuni tanah. Menggunduk. Lalu, bunga pun ditaburkan di atas kuburan baru itu. Dan, hujan mulai turun berupa gerimis. Tak sempat ada acara ini-itu. Mereka bergegas ke tempat teduh. Ada yang langsung masuk ke mobilnya, ada yang berdiri di bawah pohon, menunggu para penggali kubur selesai merapikan makam.

Kurang dari dua menit, kilat berkelebat bagai merobek langit. Suaranya menggelegar mengagetkan. Lalu, gemuruh hujan terdengar datang dari arah selatan. Suara itu semakin dekat, dan akhirnya tempat tersebut diguyur air hujan dengan deras.
Bresss...!
"Cepat masuk ke mobil ambulans itu!" kata Awang.
"Ke mobil jenazah, maksudmu? Ah, jangan ke sana! Kita berteduh di warung ujung jalan itu saja yuk! Aku ngeri masuk ke mobil yang habis dipakai mengangkut jenazah kakekmu...!"

Malam tiba. Badri ingin menemui Awang di rumahnya. Tapi ada perasaan takut. Ya. Takut kalau tahu-tahu Kakek Sumo datang ke rumah itu dalam keadaan berlumur tanah kuburan. Ih, mengerikan sekali jika dibayangkan. Karenanya, Badri lebih baik pamit, pulang ke tempat kostnya. Kakek Somo sebenarnya bukan kakek kandung Awang. Kakek Somo adalah kakak dari kakek kandungnya Awang. Jadi, papanya Awang punya paman Kakek Somo. Sedangkan kakeknya Awang yang asli sudah lama meninggal,yaitu sewaktu Awang masih di bangku SMU.

Setahu Awang, kakak dari kakek kandungnya itu sejak dulu tidak punya tempat tinggal. Konon hidupnya selalu numpang di rumah-rumah saudaranya. Yang terakhir numpang ikut papanya Awang sejak Awang masih di bangku kelas satu SMP. Kabarnya, Kakek Somo sejak dulu tidak pernah menikah. Waktu Awang masih SMU pernah bertanya apa sebab Kakek Somo tidak menikah? Kakek berbadan kurus itu menjawab, "Kakek pernah patah hati. Sampai sekarang tidak punya minat untuk mempunyai seorang istri."
Jawaban itu sebenarnya jawaban klise. Tapi anehnya waktu itu Awang tidak mendesak atau membantah. Awang hanya manggut-manggut saja. Percaya bulat-bulat apa yang dikatakan oleh Kakek Somo. Apalagi Kakek Somo waktu itu bilang, "Biar Kakek tidak punya istri, tidak punya anak, tidak punya cucu, tapi papa dan mamamu itu sudah Kakek anggap anak sendiri, dan kamu serta adik-adikmu itu sudah Kakek anggap cucu sendiri...."

bersambung........
Bagikan :
+
Previous
Next Post »
0 Komentar untuk "Novel Tara Zagita - Ratu Peri Dari Selat Sunda Part I"

 
Template By Kunci Dunia
Back To Top