Berbagi Artikel Terbaik

Blog Personal Artikel Dan Pengetahuan

Novel Tara Zagita - Ratu Peri Dari Selat Sunda Part III


Seri Dewi Ular - Tara Zagita
Ratu Peri Dari Selat Sunda
Karya : Tara Zagita


Iseng ga ada kerjaan jadi hari ini saya share deh kisah novel yang penulisan nya dulu pernah melegenda di era tahun 80'an, disini saya tidak ada bermaksud apa-apa hanya sekedar murni share karya beliau......

Selamat Membaca
PART III

Ada ungkapan yang berbunyi, "Sekali melihat akan terpikat." Ungkapan itu layak ditujukan buat Anjar. Begitulah menurut Awang pada saat ia menjelaskan kepada Badri.
"Berani digantung sampai mati aku, kalau kamu nggak akan terpikat melihat kecantikan si Anjar itu."
"Iya. Oke deh aku hakalan terpikat. Tapi aku kepingin tahu, siapa Anjar itu? Kenapa sampai tiga hari ini kamu jadi kayak orang gila, selalumencari-cari yang bernama Dewi Anjar Kusuma?"

Setiap dihadapkan dengan pertanyaan seperti itu, Awang selalu terbengong. Ingin menjelaskan sesuatu, tapi tidak tahu harus bilang apa kepada yang bertanya. Apa yang bisa dilakukan Awang hanya berkata,
"Dia cantik. Sumpah mati, dia cantik! Aku terpikat padanya. Aku suka sama dia! Sumpah mampus tujuh turunan, berani deh!"
Awang memang seperti orang gila. Setiap orang ditanyai, apakah mereka mengenal yang bernama Anjar?
Bahkan karena curiganya kepada Mira, Awang sampai bertengkar dengan adik perempuannya itu. 

"Elu sinting kali, ya? Orang gue nggak punya teman yang namanya Anjar kok disuruh ngaku punya teman namanya Anjar. Gila lu!" kata Mira saking jengkelnya.
"Nggak mungkin elu nggak kenal dia! Dia tahu bahwa elu adik gue!" bantah Awang, ngotot. Mira juga nggak mau kalah ngotot,
"Tante Sofi, tetangga kita itu, juga tahu kalau aku adikmu. Kenapa kamu nggak menanyakan tentang Tante Sofi aja?"
"Konyol lu!"
"Elu yang konyol!" balas Mira.Mamanya keluar dari kamar, menengahi, 
"Eh, eh, eh... ada apa sih? Mama dengar sudah tiga hari ini kalian ribut terus!"
"Tahu tuh si Awang, udah mulai sinting kali!" Mira cemberut.
"Husy! Sama kakaknya kok gitu sih kamu, Mir? Nggak boleh!"
"Habis, dia maksain aku. Dikasih tahu malah ngotot. Dibilangin kalau aku nggak punya teman cewek yang namanya Anjar, kok dia masih desak terus, nyuruh aku ngaku. Malah pakai ngancam mau nampar segala? Apaan tuh? Kalau nggak orang sinting kan nggak ada yang begitu, Ma!"
Mamanya menatap Awang. Saat itu Awang menundukkan kepala. Menahan kejengkelan hatinya. Tiba-tiba ia mengangkat wajah dan berkata kepada mamanya, 
"Pasti Mama yang kenal sama Anjar!"
 Mira menyahut, "Tuh... Mama aja sampai dituduh begitu?!"
"Iya, kan? Ngaku aja, Ma! Ngaku!"
"Eh, eh... kok malah mau melotot sama Mama?" ujar mamanya dengan sabar.
"Anjar siapa sih?"
"Dewi Anjar Kusuma!" jawab Awang cepat.
"Mama nggak kenal gadis bernama begitu!"
"Bohong!" bentak Awang.
"Buat apa Mama bohong? Apa Mama mau mendidik anaknya agar ikut jadi tukang bohong juga?"
"Habis siapa dong yang kenal dengan Anjar? Siapa dong yang menyuruh Anjar masuk ke kamarku?!"
"Masuk ke kamarmu?!" gumam mamanya, berkerut dahi. 
"Kalau itu kenalan Mama, nggak mungkin Mama suruh masuk ke kamarmu? Nggak sopan amat?!"
Handi juga tidak merasa punya teman yang bernama Anjar. Handi juga diajak adu debat dulu oleh Awang. Hampir-hampir mereka berkelahi pukul-pukulan. Sedangkan papanya juga tidak merasa punya kenalan yang bernama Anjar. Awang jadi kacau. Sungguh otaknya menjadi kusut, karena hati kecilnya menuntut ingin bertemu dengan gadis cantik itu. Jiwanya berharap sekali untuk dapat melihat kecantikan yang amat mengagumkan itu. Tapi ke mana Awang harus mencarinya? Mungkinkah Anjar itu temannya Gita? Pasti tidak mungkin. Gita anak SD sedangkan Anjar minimal sudah sarjana muda. Sama dengan Awang. 

Lesu dan murung terus Awang jadinya. Waktu Badri datang dan diajak masuk ke kamarnya, Badri juga nyaris tidak bisa berkata apa-apa.
Awang bilang, "Carikan Anjar sebelum aku nekat bunuh diri jika tidak ketemu dia. Katakan padanya, aku rindu dan ingin bertemu dia!"
Yang bisa dilakukan Badri hanyalah garuk-garuk kepala. Menarik napas panjang-panjang. Geleng-geleng
kepala memandangi keseriusan Awang. Setelah bungkam beberapa saat, Badri bilang,
"Tujuanku kemari sebenarnya mau ngajak kamu nonton pameran lukisan di TIM, tapi kok kamu malah kasih tugas edan-edanan gitu?"
"Gue nggak mau tahu soal lukisan. Itu bukan bidang gue, tapi bidang elu! Gue cuma butuh Anjar. Cuma butuh
melihatnya saja. Nggak nyentuh dia juga nggak apa-apa!"
"Iya. Tapi ke mana gue mesti cari si Anjar, Bego!" kata Badri dengan jengkel.
"Ya pokoknya cari. Ke mana aja, cari dia!"
"Elu kayak komandan polisi aja! Main perintah!" gerutu Badri. 
"Masa bodohlah! Gue mau lihat pameran lukisan...," Badri bangkit mau keluar dari kamar itu.
Awang menahan tangannya da n berkata, "Cari dia ditempat pameran. Siapa tahu dia ada di sana!"
"Iya, iya deh...! Eh, gue pinjam kacamata hitamnya, ya?"
"Ambil. Asal pulangnya elu sama-sama si Anjar!"

"Moga-moga aja...!" kata Badri sambil nyelonong. Ia masuk ke mobilnya sambil menggumam, "Antik juga kacamata si Awang ini. Dapat dari mana dia?" Lalu, mobil pun distarter. Sebelum mobil bergerak,
Badri mengenakan kacamata hitam itu. Wuuuus... mobil pun meluncur, meninggalkan rumah Awang.
"Ini... itu orang kok gila amat sih? Jalan-jalan tanpa pakai selembar benang pun? Hi, hi, hi...!" Badri tertawa
sendiri melihat seorang lelaki berambut rapi, membawa tas kerja, berjalan tanpa pakaian.
"Wah...? Kok ada lagi?!" Badri terperangah. Sebab kali ini ia melihat seorang perempuan, separuh baya, jalan
sambil menenteng tas plastik berlebel supermarket, tanpa pakaian. Polos sama sekali. Jalannya tenang saja,
tanpa ada rasa kikuk sedikit pun.
"Wah, wah, wah... kok jadi gini?" gumam Badri kebingungan sendiri, sebab ia melihat orang-orang yang ada di jalan raya itu semuanya telanjang, tanpa selembar benang pun melekat di tubuh mereka. Namun tangan mereka memegangi barang-barang bawaan secara serius. Malahan ada seorang gadis yang berjalan tanpa pakaian, tapi rambutnya disanggul rapi, wajahnya bermake up, menenteng tas kecil, seperti mau kondangan.
"Ya, ampuuun...! " Badri menghentikan mobilnya. Beberapa pengendara motor tidak pakai pakaian melintas di samping kanannya. Yang tua, yang muda, yang lelaki, yang wanita. Bahkan yang kecil pun ikut-ikutan tidak berpakaian. Buktinya, Badri melihat anak SD pulang sekolah menenteng tas tanpa memakai sepatu, topi, dan pakaian seragam.

Badri berpaling ke sana-sini dengan bingungnya. Siapa yang harus dipandang, ke mana arah mata sebenarnya,
ia tidak tahu. Ia seperti hidup di kota nudis. Telanjang semua.
"Lho... itu kok seperti Bu Mardi...?!" gumam Badri. Seorang perempuan sedikit gemuk, usianya sekitar empat puluh tahun, sedang menyeberang jalan. Seolah-olah sedang mendekati mobil yang dikemudikan Badri. Mobil itu masih berhenti di pinggiran jalan. Mata Badri memandangi Bu Mardi dengan tidak berkedip, sebab perempuan itu tanpa busana sama sekali, menenteng rantang susun dari logam almunium.
"Bu... Bu Mardi!" panggil Badri. Perempuan itu menoleh dan berhenti sejenak. 
"Bu... kenapa telanjang?!" seru Badri. Perempuan itu terperanjat, seperti baru ingat siapa yang memanggilnya. Ia buru-buru mendekati mobil Badri.
"Eh, kamu Dri...?! Mau ke mana? Ibu numpang, ya?"
"Hmmmm... eh... anu...," Badri gugup karena melihat wujud tubuh Bu Mardi yang polos itu. 
"Hmmrn... Ibu mau ke mana sih?"
"Mau ke rumah saudara, di Jalan Merpati. Kamu lewat sana nggak? Kalau lewat sana Ibu numpang deh. Habis mau naik bus kota tanggung, mau jalan kaki kejauhan." 
"Hmmrn... anu... saya nggak lewat sana kok, Bu. Saya... saya... belok ke kiri kok!"

"O, ya sudah. Kalau gitu, Ibu duluan ya? Salam buat Bu Toba, ya? Kamu masih kost di rumah Bu Toha itu, kan?"
"Mmm... masih. Masih, Bu. Nanti... nanti saya sampaikan deh!" Bu Mardi pergi, melangkah dengan santai. Seakan tidak menghiraukan keadaan tubuhnya. Budri tertegun. Bengong di tempat tanpa bergerak. Karena pada saat itu benaknya teringat sesuatu dan hatinya berkata dengan gemetar, 
"Lho, Bu Mardi kan sudah meninggal sebulan yang lalu?!" kontan bulu kuduk Badri merinding. Jantungnya makin berdetak-detak. Panik. Dan semakin panik setelah ia menyadari, ternyata di dalam mobilnya ia tidak sendirian. Ada seseorang yang duduk di jok belakang sopir.
"Triana...?" gumam mulut Badri dengan bergetar. Gadis berkulit sawo matang itu tersenyum, lalu berkata, "Kupikir kau sudah lupa sama aku, Dri...!" Gemetar sekujur tubuh Badri. Suasana siang terasa seperti suasana menjelang magrib. Mungkin karena kacamata hitam itu terlalu memberikan warna gelap untuk mata pemakainya. Itu sebabnya Badri merinding lagi sekujur tubuhnya, bahkan tidak bisa menggerakkan kakinya untuk menginjak pedal gas.
"Mau ke mana kamu, Dri?"
"Ke... ke... ke... pameran...di... di TIM...," Badri menjawab dengan gugup.
Soalnya Triana dalam keadaan polos tanpa selembar benang. Dadanya dibiarkan terbuka polos. Tampak jelas gumpalan dagingnya yang sekal itu. Malahan Triana duduknya sangat santai, seakan tidak mempedulikan
keadaan tubuhnya yang tanpa penutup sedikit pun itu. Semuanya tampak jelas di mata Badri yang menoleh ke
belakang dan susah memandang ke depan kembali itu.
"Aku ikut deh! Aku juga sudah lama nggak nonton pameran lukisan...!"
Badri tidak bisa menjawab. Hanya, ah uh ah, uh...!
Berulang kali ia menelan ludah, antara takut dan tergoda. Sebab, sekalipun keadaan Triana menimbulkan daya rangsang yang cukup besar, namun Badri ingat bahwa Triana sudah meninggal tiga bulan yang lalu akibat tabrakan dengan Jeep, di Puncak. Badri ingat, bahwa ia juga hadir dalam upacara pemakaman jenazah Triana.
Karena takutnya, Badri memejamkan mata. Ia ingin menghapus wajahnya yang berkeringat. Ia melepas kacamata hitam dengan tangan gemetar, dan menghapus keringat di wajahnya dengan telapak tangan.
Kemudian ia mencoba membuka matanya kembali.
"Oh...?!"
Wajah Badri terperangah, matanya membelalak lebar. Mata itu memandang ke sana-sini dengan liar. Lalu, ia kembali mengerjap-ngerjapkan mata. Oh, rupanya ia telah melihat suasana berubah total. Triana tak ada di tempatnya. Orang-orang telanjang juga tidak ada. Seorang penjual rokok di seberang jalan yang tadi dilihatnya telanjang bulat, kini dalam keadaan mengenakan kaos putih dan celana pendek hitam. Para pengendara motor juga mengenakan busana sebagaimana layaknya.
"Gila! Apa yang telah kualami tadi?" gumam Badri sambil napasnya masih sedikit ngos-ngosan. Ia melirik arlojinya, oh... sudah pukul dua siang. Suasananya tidak menakutkan. Sama sekali tidak menakutkan. Maka, Badri pun segera menjalankan mobilnya. Pelan-pelan. Sambil ia merenungi tentang apa yang barusan dialami itu. Seperti mimpisaja, baginya. Sampai di depan TIM, Badri tidak langsung menuju kegedung pameran, melainkan mencari tukang es. la minum teh botol sampai habis dua gelas, la merenung disitu. Terbengong seperti orang linglung Tapi batinnya terus berkecamuk dan bertanya-tanya, mengapa aku tadi mengalami hal yang amat aneh?

Dalam keadaan sedang terbengong melompong itu.Tiba tiba punggungnya ada yang menepuk dari belakang.
"Hai..,!"
"Anjing. !" ceplos Badri sambil melompat. Ia terlonjak kaget.Mukanya pucat pasi. Ia mendelik kepada orang yang menepuknya. Orang itu tertawa kegelian melihat tingkah Badri yang kaget itu.
"Ngepet lu!" caci Badri setelah sadar bahwa orang itu adalah temannya sendiri. Dharma.
"Ngapain sih elu sampai kayak orang kesetanan begitu?" tanya Dharma sambil menghabiskan sisa tawanya.
 "Sekali lagi elu ngagetin gue, gue keprak pakai botol lu!"
Setelah beberapa saat, emosi Badri pun reda. Dharma tidak menanggapi emosi itu, melainkan justru mengajak bicara soal lukisan. Sebab Badri dan Dharma sama-sama seorang mahasiswa yang punya obyek sampingan menjadi ilustrator sebuah novel atau di majalah-majalah remaja. Kadang kadang mereka mengorbankan waktu kuliahnya demi mengejar pesanan seseorang tentang ilustrasi untuk sebuah cerita yang mau diterbitkan.

"Elu mau lihat pameran kan?" tanya Dharma.
"Ya. Tapi...."
"Pakai tapi segala? Memangnya kamu takut kalau ketemu Ririn?"
"Ah, gue nggak mikirin soal Ririn. Gue habis mengalami suatu keanehan, Ma!" Dharma tersenyum-senyum, menyepelekan kata-kata Badri. Tapi rupanya ia ingin tahu juga, sehingga ia pun bertanya,
"Keanehan apaan? Lihat makhluk planet? Lihat piring terbang?"
"Bukan itu. Aku... aku melihat dunia yang asing bagiku."
Dharma berkerut dahi sambil tetap tersenyum menyepelekan.
"Dunia yang hilang, maksudmu? Semacam Pompei...? Atlantik?!"
"Bukan, bukan...! Aku.... Aku melihat orang-orang pada telanjang dan mereka yang kukenal sudah mati, seakan hidup lagi. Mereka masih mengenali aku. Seperti misalnya, Triana...! Eh, kamumasih ingat Triana, yang matinya tabrakan di Puncak?" Dharma mengangguk. Santai.
"Nah, aku melihat Triana dalam keadaan telanjang, tanpa pakaian sedikit pun. Ia tahu-tahu ada di dalam mobilku...."
"Terang aja, soalnya dulu elu nafsu sama Triana!" sambil Dharma tertawa. Badri memendam kedongkolan. Ia sedikit membentak.
"Bukan soal itu! Malahan aku melihat tetanggaku yang sebulan yang lalu telah mati. Juga telanjang, menenteng rantang susun!"
"Aaaah... sudah, sudah! Jangan ngaco! Yuk, masuk aja! Kayaknya sih Abbas juga ada di ruang pameran! Tadi gue lihat dia masuk sama ceweknya. Pakai motor!" Badri tak punya pilihan lain. Untuk menghilangkan kekacauan otaknya, memang lebih baik ia segera masuk ke ruang pameran. Tapi sebelumnya ada sesuatu yang ia kerjakan.
"Gue kunci mobil gue dulu, ah...!" Sambil mengunci pintu mobil, Badri mengambil kacamata hitam yang tadi diletakkan di jok samping kirinya. Kacamata itu dicantelkan di sela kancing bajunya Di dada. Kemudian ia melangkah menuju ruang pameran bersama Dharma.
"Antik juga kacamata lu!" kata Dharma, memandang penuh selera.
"Pinjam punya teman kok."

"Kenapa nggak elu pakai?"
"Kayak orang gila! Masuk ruang pameran kok pakai kacamata hitam. Malu dong!"
"Ah, cuek aja! Sini gue yang pakai!"
Dharma mengambil kacamata itu, Badri diam saja. Mereka tiba di pintu ruang pameran. Ada beberapa teman Badri yang dikenalnyayang sedang mengamati lukisan-lukisan naturalis karya pelukis muda dari Yogyakarta. Abbas memang ada. Berjejeran dengan pacarnya yang keturunan orang bule itu. Bahtiar juga ada. Malah seorang dosen dari sebuah perguruan swasta yang dikenal Badri juga ada di situ."Astaga!" tiba-tiba Dharma terpekik kaget. Badri menoleh seketika. Ia heran melihat mulut Dharma terperangah. Melompong. Tubuhnya tidak bergerak karena mengalami keterkejutan yang cukup kuat.
"Kenapa sih? Jangan malu-maluin dong. Bikin orang-orang pada ngeliatin kamu tuh!" kata Badri berbisik.
"Dri... aku... aku... aku melihat kamu telanjang, Dri...."
"Apa...?!" Badri mulai tegang.
"Kamu, Abbas, pacarnya Abbas, dan mereka yang ada di sini pada telanjang. Semua telanjang bulat, Dri...!"
"Ah, kamu...!" Badri menggerutu, menganggap bercanda.
"Sumpah mampus! Mereka telanjang!"
Badri buru-buru melepas kacamata hitam yang dipakai Dharma dengan menariknya secara kasar. Bret...!
Kacamata terlepas. Napas Dharma terhempas lepas. Seperti mengalami kelegaan. 

"Elu jangan bercanda kayak gitu, ah! Nggak enak dong!"
"Sum... sumpah mampus semampus-mampusnya deh!" Dharma ngotot. Badri segera menarik tangan Dharma, mengajak keluar dari ruang pameran. Mereka kini ada di tempat sepi, di pojokan.
'Yang bener aja lu ngomong, Ma!"
"Ya, ampun... gue mesti sumpah apaan lagi! Gue melihat elu sendiri telanjang. Gue juga melihat... melihat Triana berdiri di samping pacarnya Abbas. Juga tanpa busana. Tapi begitu elu jambret kacamata itu, mereka jadi berbusana semua. Triana hilang. Dan... wah, gue nggak tahu deh! Ada apa dengan kacamata itu, Dri?"
"Kacamata...?!" gumam Badri dengan berkerut dahi, lalu ia memandangi kacamata tersebut. Mengamat amati beberapa saat dengan perasaan heran dan tak yakin. Kemudian, Dharma menyuruh Badri memakai kacamata itu,
"Coba elu pakai deh...!"
Badri menurut Kacamata dipakai. Dan, ia terperangah seperti Dliarma tadi.
"Ya, ampun., benar, Ma! Elu kelihatan telanjang-!"
Buru buru Badri melepas kacamata hitam kuno itu. la terbengong, mulutnya masih melompong, matanya tak berkedip menatap Dharma.
"Benar kan? Pasti kacamata itu bukan sembarang kacamata...!"
Badri masih tidak bisa bilang apa-apa. Justru jantungnya berdebar-debar, batinnya bertanya-tanya. Mengapa Awang melepaskan kacamata ini? Mengapa 
Awang mengizinkan kacamata misterius itu dipinjam olehku? Apakah Awang belum tahu bahwa kacamata ini punya keistimewaan yang sungguh tidak masuk akal?
Badri buru-buru mengantongi kacamata tersebut. Ia bertahan walaupun Dharma memaksa untuk meminjamnya, sampai mereka bersitegang. 

Next Kelanjutan Bersambung di Part IV

Bagikan :
+
Previous
Next Post »
0 Komentar untuk "Novel Tara Zagita - Ratu Peri Dari Selat Sunda Part III"

 
Template By Kunci Dunia
Back To Top